Aliansi Tiga Negara di Balik Dongeng Leicester City

leicester-city-juara-liga-inggris-2015-2016_20160508_020332
Skuad Leicester City merayakan gelar juara Liga Primer Inggris pertama mereka

Seluruh mata skuad Leicester City yang bersama-sama menyaksikan pertandingan Chelsea melawan Tottenham Hotspur terpaku pada layar kaca. Seketika mereka semua mendukung sang tuan rumah, Chelsea yang tertinggal 0-2 di babak pertama. Chelsea memperkecil ketertinggalan melalui Gary Cahill dan tibalah saatnya bagi mereka untuk bersorak-sorai merayakan gelar juara yang tiada seorang pun pernah memprediksi. Eden Hazard, membuat skor menjadi imbang 2-2 dan mempersilakan Leicester City berada di puncak klasemen dan menjadi juara. Terlihat kebahagiaan dari Jamie Vardy, Danny Drinkwater, dan Shinji Okazaki yang seolah tidak percaya, mereka, tim gurem yang musim lalu berjuang menghindari degradasi, sekarang menjadi juara Liga Inggris.

 

Matchday 37, saat yang ditunggu bagi pemain dan fans Leicester City. Guard of Honour dari skuad Everton membuat Leicester merasa bak pahlawan, apalagi bermain di kandang sendiri. Nuansa Italia pun menyeruak di kota Leicester, tanah Britania. Bukan dari pemain, karena tiada seorang pun di skuad Leicester City yang berkewarganegaraan Italia, melainkan pengaruh dari sang pelatih, Claudio Ranieri, seorang Italia. Perayaan diawali dengan Guard of Honour, lalu tanpa diduga, Ranieri memperkenalkan kepada penonton seroang penyanyi seriosa asal Italia, Andrea Bocelli yang  menggelar sebuah ‘konser’ singkat di lapangan hijau. Lagu “Nessun Dorma” pun bergema di seisi stadion, menyihir siapa pun yang mendengarnya, membangkitkan bulu kuduk, karena di saat itulah, dongeng sepakbola di tanah Britania berubah menjadi kenyataan. Lagu dari Opera Turandot gubahan Giacomo Puccini yang sebelumnya juga pernah dinyanyikan oleh Luciano Pavarotti dan mengantarkan  Paul Potts menjadi juara British Got Talent dengan menyanyikan lagu tersebut yang membuat juri Simon Cowell ternganga penuh kekaguman.

 

Il nome suo nessun sapra!… ” Andrea Bocelli menanggalkan jaket yang ia kenakan dan nampak seragam Leicester City berwarna biru melekat di badannya, biru seperti tim nasional Italia. Di punggungnya pun tertulis namanya “Bocelli”. Walau ia tidak bisa melihat bagaimana euforia yang luar biasa di Stadion King Power dikarenakan kecelakaan yang ia alami saat berusia 12 tahun yang merenggut pengelihatannya, namun perasaan membuncah tentu tak ada yang mampu berdusta, begitu pula suara emasnya yang menjadi bagian tersendiri dalam perayaan juara.

Vincera… Vincera…” Klimaks, saat itu pula riuh rendah mengakhir ‘konser’ singkat tersebut. Terdengar pula kabar bahwa setiap fans Leicester yang datang ke stadion menerima pizza, makanan khas Italia.

 

Leicester City pun memenangi pertandingan tersebut dengan skor 3-1. 2 gol Jamie Vardy dan 1 gol dari Andy King hanya mampu dibalas oleh Kevin Mirallas. Peluit panjang berbunyi, jelas, semua berbahagia. Satu persatu pemain Leicester keluar dari ruang ganti yang diawali oleh sang pelatih, Claudio Ranieri untuk menerima medali. Satu persatu pemain pun menerima medali. Riyad Mahrez… Christian Fuchs… Gokhan Inler… tinggal orang terakhir, yakni sang kapten yang memiliki peran vital dibalik kesuksesan ini. Wes Morgan, nun jauh dari Jamaika di Karibia dan meraih sukses di Inggris.

 

Akuilah, jika anda bukanlah fans Leicester City namun turut merasakan kebahagiaan yang sama, tak peduli apakah anda fans Chelsea, Arsenal, Tottenham, atau duo Manchester. Tentu rasanya berbeda jika anda adalah fans Arsenal yang menyaksikan Chelsea juara atau sebaliknya. Atau jika anda adalah fans Manchester City yang menyaksikan sang rival sekota atau sebaliknya. Lupakan rivalitas, karena Leicester City benar-benar menyajikan sebuah sepakbola, lengkap dengan passion dan kejutan, serta keberuntungan. Tangan Claudio Ranieri dan Wes Morgan bersama-sama mengangkat trofi Liga Inggris disertai teriakan kebahagiaan dari seluruh pemain dan penonton yang menjadi saksi mata, apalagi mereka yang benar-benar menyaksikan perjuangan Leicester dari ketika masih berada di divisi 2 Liga Inggris pada musim 2013-14. Meraih tiket promosi pada musim 2014-15 dan berjuang menghindari degradasi sampai finis di peringkat 14. 2015-16, begitu spesial, semua dongeng bermetamorfosis menjadi kenyataan.

 

Jangan lupakan Thailand juga. Karena Vichai Srivaddhanaprabha, sang chairman tentu merasakan betul perjuangan dari Leicester City. Keputusannya mengganti Nigel Pearson dan menggantinya dengan Claudio Ranieri sangatlah tepat. Vichai membeli klub tersebut pada Agustus 2011. Vichai juga adalah pemilik dari sponsor klub tersebut, King Power Duty Free. Serta anaknya, Aiyawatt Srivaddhanaprabha menjadi vice-chairman di klub tersebut. Di negeri asalnya, Thailand, Leicester pun dianggap sebagai kesebelasan asal Thailand. Tentu jasa Vichai dan Aiyawatt sangatlah besar dalam mengharumkan nama Thailand di Inggris, seketika menjadi sorotan publik karena ia bukanlah sugar daddy layaknya Sheikh Mansour ataupun Roman Abramovich.

 

Tiga Negara yang mensukseskan Leicester City. Thailand, pundi-pundi uang serta kebijakan berawal dari sang pemilik, Vichai Srivaddhanaprabha. Inggris, sebagai negeri di mana mereka bernaung, berjuang, dicemooh, sampai pada titik klimaksnya mereka dipuja habis-habisan. Seperti halnya tim Inggris lainnya, skuad Leicester pasti mayoritas berkebangsaan Inggris, termasuk si pencetak gol terbanyak, Jamie Vardy. Italia, sentuhan magis ala Italia dari Claudio Ranieri menjadi dalang rentetan kesuksesan. Juga perayaan juara yang banyak mengandung unsur Italia yang terselubung.

“Nessun dorma! Nessun dorma!
Tu pure, o, Principessa,
Nella tua fredda stanza,
Guardi le stelle
Che tremano d’amore
E di speranza…”

Tiada yang terlelap! Tiada yang terlelap!

Begitupun engkau, oh, Sang Putri

Dalam dinginnya peraduanmu

Memandangi bintang-bintang nan berkelip

Untuk asmara  dan harapan

 

“Tramontate, stelle! All’alba vincera!”

Terbenamlah bintang-bintang! Saat fajar nanti, ku kan menang!

Leave a comment